kursor variasi

Domo-kun Cute

Senin, 16 Februari 2015

(b.indonesia) beberapa contoh novel

Tetangga! Sekaligus teman dekat yang begitu akrab, begitulah yang sempat bisa ku tuturkan saat orang lain bertanya “Siapakah gerangan orang itu? Orang yang sering kau beri makan di sudut pinggiran trotoar jalanan sana!”
Kebanyakan raut wajah mereka menatap tak percaya seakan menganggap ku aneh, kalau-kalau ku jawab demikian pada mereka.
Sungguh sangat memprihatinkan dalam tatapan kosong ku, termanggu melihat apa yang telah di alami oleh rian, sebuah perjalanan yang sulit di tempuh oleh logis dan nalarnya.
Yah! Mungkin saja tak perlu ku bercerita soal kisah suram ini. Tapi hanya melalui kisah ini dapat ku ceritakan! Cerita apa?
Tak perlu ku beri tahu sekarang, nanti bisa di pahami dan di resapi sendiri.
Embun malam masih membekas di udara, menyisahkan setitik embun di pucuk pepohonan cemara hias pekarangan rumah.
Kicauan burung menembus kilap dinginnya sentuhan pagi.
Terlihat beberapa langka halus mendendang sejenak, di pekarangan depan rumah.
Langkah kaki lesu mendarat seketika di sebuah kursi kayu tua.
Siapakah gerangan sosok renta itu?
Aku mencoba menerawangkan mata dengan teliti, berusaha menghindari daun ramping cemara yang hanya menyisakan sedikit celah, untuk membiarkan tatapan liar ku menerawang.
Oh tentu saja itukan wanitah paruh baya renta yang tak asing lagi bagi tatapan ku.
Entah mengapa feeling ku tercecer tak karuan.
Mengapa begitu? Dapat ku pastikan memang aneh, sudah beberapa minggu berlalu rumah itu selalu terasa hening gemulai. Tak terdeteksi tanda-tanda kehidupan bagi tatapan rangkulan ku.
Hanya wanita renta itulah yang sering terpapar di pandanganku.
Tak hentinya ku membatin, ku hirup dan kusedu secangkir teh panas yang sedari tadi tak ku belai pegangannya.
Aaah nikmat sekali rasanya, tak terasa bayangan gambaran wanita tua tadi hilang dari nalar ku.
Hembusan embun kembali bertiup dingin membekukan senyum ku.
Kembali lagi ku sedu teh ini.
Tatapan ku sayu memandang kembali gerangan wanita tua itu.
Ia masih saja mematung lesu dengan bibirnya yang membiru pucat, meninggalkan tatapan dingin dan sinis di wajahnya.
Mata ku searah menerawang seseorang pemuda yang menghilirkan batang hidungnya sana.
Ia berjalan gontai menghadap wanita renta itu.
“Hey setan tua, ku usir kau, pergi! Pergi dari rumah ini, geranganmu seperti hama di mata ku, tak enak di pandang seperti sampah…. Hahahaha!
Tutur keras pemuda itu, sambil terbahak tanpa arah.
“Ah sosok itu! Itu memang benar-benar rian!”
hilir ku membatin dalam hati.
Pandangan kosong ku seketika terisi penuh merekah-rekah kembali nostalgia lama tentang sahabat ku.
Namun semua kenangan indah itu terhalau noda keidiotan yang berparasit di jiwa rian.
Belum beberapa saat ku membatin.
“hahahahahahahahaha”
terdengar tawa rian yang makin menggila dan menjadi-jadi.
Tentu saja suara itu memecah suasana damai pagi ini. Hanya membuat burung-burung berterbangan kiri-kanan, karena tawanya.
“Sudahlah rian, cukup sudah! Jangan bertingka seperti ini terus”
tutur wanita renta itu.
Jika di lihat sekilas ada tetesan kecil embun terselip di sisi bawah mata wanita renta itu, dan mengalir halus melewati mimik lunak kusam berkeriput wajahnya itu.
“Jangan taruh tanganmu itu pada lengan ku, pergi kau dari hadapan ku! Pergiii!
Dasar setan tua!
Sahut rian kasar.
“Mama remon sudah tak dapat membendung amarah remon lagi, biar sekalian saja remon remukan mulut kotornya itu!”
Sesosok pemuda lain sigap keluar dari dalam rumah itu.
Sosok itu ternyata adalah remon sang kakak, dari rian.
Segera dengan cekatan langkah panjang dan cepat beradu di kaki nya, menuju rian.
Merasa sangat terkejut, spontan rianpun secepatnya kocar kacir cepat tanpa alas kaki, menghindari sang kakak.
Alhasil rusuh pun terjadi pagi ini, bunga di pekarangan rumah ku rusak, tak luput dari amukan sang rusa dan macan jadi-jadian itu.
Rerumputan berduri tergusur habis di injak-injak mereka berdua.
Hanya tinggal sesosok wanita renta lemah gemulai lah yang memohon agar remon meredam amarahnya.
Tapi tak terhiraukan remon yang sedang membara.
Tiba-tiba saja sesaat.
“Berhenti remon! Kau hanya akan memperburuk keadaan sekarang!
“Om nick, lepaskan tangan ku, aku sudah tak perduli keaadaan lagi”
Oh ternyata sesosok lelaki kekar bernama nick menahan lengan remon. Gerangan langka kaki remon terhenti terlihat juga beberapa tetangga berusaha menahan remon yang membeludak gila saat ini.
“Anjing… ! Binatang… ! Aaaagh… !
Teriak rian serak dari kejahuhan pada remon.
“Remon jangan kamu dengarkan omong kosong adik mu itu, ia juga sebenarnya sedang menderita”
Tutur kecil om nick pada rian.
“Tapi om nick. Dia itu sudah sangat amat kelewatan”
“Remon, dengar perkataan om nick ini baik-baik! Cobalah sekarang kau tatap mama mu sana ia bahkan terlihat lebih sedih melihat tingkah mu yang seperti ini, dari pada tingkah rian”
Remon terpelukuk lesu tak dapat berbicara banyak lagi, mendengar gemahan suara om nick tentang gerangan ibunya.
Kini ia hanya menatap kosong tingkah gila adiknya yang ia sayangi dulu, kini membuat luka hatinya.
Aku terperanga sambil menutupkan kedua tangan ku di mulut dan hidung ku.
Teh yang tadinya ku minum kini tumpah di lantai.
Suasana yang tadinya tenang gemulai, berubah tegang seketika, dan ramai oleh banyak orang.
“Daniel! Ayo cepat masuk ke dalam rumah, jangan kamu toton susah derita orang”
Suara halus tapi lantang menampar pucuk telinga ku, setelah ku terawang ternyata itu gerangan mama, yang tepat berada di belakang bahu ku.
“Iya ma, lagi pula aku harus segera kuliah beberapa jam lagi”
Ucap ku ringan pada mama yang nampak keluar mendengar rusuh tadi.
Setelah malamnya, hembusan sepoi angin malam membelai ku lagi, sama seperti pagi tadi.
Masih hangat dalam ingatanku tetang rian. Aku yang sedari tadi berbaring di teras depan rumah ku, masih berjaga-jaga hingga tepat hampir tengah malam.
Hilir mudik angin malam semakin deras, nyamuk-nyamuk semakin rimbun di malam senggang ini.
Hewan malam bergantian bernyanyi.
Ku tatap rumah pekarangan depan rumah rian, tak kunjung pula lampu teras yang bisa di padamkan, kini masih benderang selaras kunang-kunang malam yang terus berhilir di setiap pekarangan rumah.
Tentu itu tak biasa! Tak habis ku pikir bahwa semua itu karena seseorang yang terdengar sedang berceloteh ria di kediamannya, membuat para penghuni rumah tak berselera tidur.
Huaaaa mulut ini seketika menguap pertanda malam ini harus segera di akhiri.
Dengan sisa tenaga yang dapat ku pakai ku bangunkan raga ini, untuk tinggal berjalan gontai ke kamar dan menutup segala kerja mata dan pikiran.
Huaaayemm kembali ku menguap ku regangkan kedua tangan ku ke atas untuk menarik segala syaraf dan urat-urat yang masih tegang.
Oh ternyata sekarang masih terlalu cepat ku bangunkan raga ini, jam tangan masih menunjukan pukul 02:29 am, tanda hari masih gelap, ah mulutku serasa serak parau, kering dan dehidrasi karena kekurangan ion. Ah pastilah segelas air mampu mengobati kemarau di tenggorokan ku.
Bunyi gemericik air yang berasal dari gelas yang kutuang mendendang ke segala ruangan rumah.
Tapi ada suara lain yang menyambar gemericik suara air ini.
Apakah gerangan? Kutengokan kepala ku dari jendela yang tak jauh dari tempat ku berada.
Ku usikkan ke samping hordeng jendela untuk tinggal ku tengokkan raut mimik wajah.
Suara itu semakin keras dan merdu ketika daun jendelah ku usik.
Hanya hamparan pepohonan dan rerumputan yang ku tengok.
Suara itu terdengung terus di pucuk telinga ku, setelah ku terawang berubahlah menjadi alunan senandung indah, yang tak asing bagi ku.
Dan hualah! Ternyata jejak-jejak puing-puing suara ini berasal dari sosok yang tak asing di iming-iming ku, ya benar, itu rian, ia sedang bersenandung merdu beradu dengan angin malam yang membuat segalah tumbuhan ikut meliuk-liuk kiri dan kanan seakan berdansa, mendengar senandung ini.
Sudah lama tak ku dengarkan suara halus lembut, dan maskulin bekualitas dari sang juara vokal di SMA dulu.
Terdengar suara senandung itu kembali bersenandung.
“Bulan yang gemulai benderang sahutlah aku adalah orang yang paling beruntung di dunia ini.
Kau memandang senyum ku dari gelora samudra angkasa sana, di ikuti ku sambari menatapmu kembali dari sini! Bersama sahabat terbaik ku malam ini”
Senandung ini menghilir ke udara merambat ke pucuk telinga ku, menyusup dan kemudian menyindir perasaan ku ini. Berjuta kenangan manis tergambar, dan kemudian hanya menyisakan satu gambaran kental, yang mebuat muara embun menderu perlahan, menghiasi pipi ku.
“Oh rian begitukah engkau, engkau bahkan tak lupa dengan lagu kita, yang memang sengaja kulampirkan untuk mu, di perkemahan SMP dahulu”
Tak habisnya ku terhumus dalam nostalgia, sosok rian kembali hilang seketika, angin menjadi tak tentu, pohon-pohon sudah acak-acakan tak berirama lagi.
Kembali sayup ku dengar suara rian, “hahahahahahaha…! Apa yang hilang dari ku oh bulan? Jawab keparat! Hahahaha…”
Ia sembari bisa menggila kembali.
“Rian masuklah, jangan membuat mama mencemaskan mu!”
sepasang mata kulihat tak jauh dari rian, sepasang mata sayu yang memelas sakit dan penuh kekuatiran.
“Dasar setan tua! apa peduli mu pada ku, enyahlah engkau dari hadapan ku”
bentak rian kasar sambil melotot seperti setan.
Parit dari arah berlawanan kening wanita renta itu muncul seketika.
Ia menarik nafas terengah-engah dan menghempaskan gerangannya di kediamannya, sepertinya wanita tua itu ingin menangis, terpampang jelas dalam gambaran mimik wajahnya.
Sesaat terlampaui tanpa syarat, muncul sosok lain yang lebih mudah yang ialah remon, ia hanya menatap geram dan melontarkan beberapa kata kesal gundanya.
“Dasar tak tahu di untung, lebih baik engkau segera hilang dari kehidupan kami, kau hanya membuat sakit-sakitan mama.
“Hahahahahahahaha”
Rian sembari cekikikan gila
Sang kakak tertegun kesal, ia kemudian tak lama menghilangkan sosoknya dari hadapan rian yang masih terkekeh-kekeh.
Sedari gerangan ku serasa ikut kesal mendadak di hati, melihat sikap remon yang dahulu tak seperti ini, yang dahulu penyayang orang tua, pelindung keluarganya, setia kawan, dan menyenangka. Tapi ternyata kini itu hanya tinggal tipuan dalam masa sekarang ini, bukan mimpi yang dahulu.
Aku sudah mulai muak dengan perasaan batunya. Sekarang rian itu sudah tak ada pikir ku membantah, perasaan hati ku.
Tapi benarkah harus ku putuskan ikatan persahabatan yang terjalin lamanya hanya dengan beberapa menit saja? Tentu tidak!
“Huuuuu…” ku tarik nafas panjang dan ku hilangkan semua pertentangan batin ini, untuk kemudian ku lupakan.
Segera ku tutup kembali daun jendela, dan ku palingkan secepatnya langkah ku menuju peraduan nyamanku.
Hilir lembut dingin embun menyentu kulit ku kembali, membuat ku setengah terbangun dari tidur ku. Hanya segelintir cahaya memtari yang menyelinap masuk dalam ruangan pengap ini.
“Huaaaem!” kembali lagi luapan dari mulut ku keluarkan.
Beberapa saat ku terdengar suara gaduh rusuh kembali di balik jendela.
“Suara apakah itu?” pikirku penuh tanya serapa.
Tanpa pikir panjang, kuselipkan mata ku di celah jendelah.
Betapa terkejutnya aku melihat banyak sekali orang di luar sana, terlebih-lebih saat suara ambulance berkumandang memasuki pekarangan depan rumah rian.
Pikiran ku kacau sejenak tak terpikir apa-apa, mendadak ku berlari seketika sampai tepat berada di pekarangan depan.
Aku tak begitu jelas tau apa yang terjadi karena, karena terhalang orang lain.
Ku coba mendobrak kerumunan orang dan, huala! Hanya tandu petugaslah yang bisa kulihat, tampak ada seseorang yang tertidur pulas dan kaku di atasnya.
Sejenak ku terpikir rian, tapi setelah tandu petugas ambulance mendekat ternyata sesosok yang tak asing lagi bagiku ialah wanita tua itu.
Aku serasa tergeger mendengar teriakan remon menghampiri tandu petugas itu.
Ia tersedu seperti anak kecil yang kesakitan.
Entah apa yang terjadi, tapi aku hanya merasakan kesedihan remon pada ibunya, saat ibunya di tandu ke ambulance.
Semerbak sedih hura yang terpancar, segelintir orang yang melihatnya pun ikut menitihkan embun di bawah mata ngarai mata.
Sesaat terdengar beberapa bisikan, tante-tante yang ada di samping ku.
“Ini semua salah manusia gila itu”
“iya benar ibunya sakit-sakitan karena tingka gila manusia itu”
Aku berusaha mencerna kata mereka, tapi kelihatannya rianlah yang mereka obrolkan melalui bibir.
“Hey kalian semua tertipu oleh setan tua itu! Hahahaha..!
Sosok yang tak diinginkan batang hidungnya, muncul bagai hantu malam di tenga perkabungan, sambil tertawa tanpa sebab.
Tak ada orang yang mempergatikannya lagi, mereka sudah lesu dan jenuh dengan wajahnya.
Namun tatapan tajam seketika keluar dari tatapan remon.
Benar saja, dengan langka panjang dan cepat remon berlari gesit membidik rian yang tak menyadari kehadiran macan kelaparan.
Tak ada gerakan orang lain yang sempat mendapati remon. Entah apa yang akan di perbuatnya pada rian yang masih tak menyadari kedatangan remon.
Dan…?
Astaga apa ini mimpi, betapa terkejutnya aku melihat remon mendekap erat rian, membuat rian mematung tak berkata apa-apa.
Remon mendekap rian semakin erat, menangis sambil tersedu pilu.
Semua mata memandang ke arah sepasang kakak beradik itu.
Angin suram berhembus menyelinap di sela-sela kaki semua manusia yang bernestapa heran-keheranan.
Dalam kesedihan remon, kesedihan yang membuat sang ibu gugur dalam dunia ini, remon terasa putus asa.
Ia hanya menuturkan beberapa kata tersedu-sedu pada sang adik.
“Jangan! Jangan lagi kamu seperti ini, ketahulilah bahwa aku menyayangi mu sama seperti mama sayang pada mu, mama pernah berkata pada ku kalau ia ingin melihat kita berpelukan lagi, sama seperti dahulu, tapi mungkin ini sudah terlamabat… Jadilah, adikku yang seperti dahulu, mungkin mama takkan bisa kembali lagi, tapi kamu bisa! Kamu bisa kembali”
tutur remon dalam dekapan rian.
Aku yang memperhatikan suasana, sedari tadi tak kuasa jua menahan embun di mata ini.
Sejenak aku melihat remon dan rian, seperti di peluk juga oleh mama, dan juga papa mereka yang lama telah tiada.
Sejenak seluruh tubuh ku di selimuti rasa merinding yang tiba-tiba menyelinap.
Remon kini melepaskan pelukannya, dan hebatnya lagi tersisip senyum yang kelihatannya tulus, dan kemudian remon memperadukan kakinya lagi tapi entah kemana ia pergi menembus semua kerumunan orang, yang ikut melihat.
Ambulancepun baru berbunyi, seakan menunggu remon melepaskan pelukannya.
Bunyi nyaring sirine ambulance menjalar ke seluruh telinga setiap orang di sini, dan menyisipkan sepenggal bisikan yang berbunyi “sudah selesai”
entah apa maknanya, tapi itu membuat hatiku kosong.
Langit pagi yang sedari tadi menatap kebawa, tak menyediakan awan berarah, hanya awan hitam kelam saja, yang menangis.
Membuat seluruh jiwa bertebaran menghilang seperti remon, tanpa jejak.
Gerangan akupun berlari berteduh, hanya tinggal sepasang mata yang sedari tadi menatap langit, itulah sosok rian.
Segelintir orang ada yang berusaha menembus hujan, mebawanya bertedu.
Namun tak ia hiraukan, angin kencang semakin menjadi.
Meniup dan membawa segala yang telah lalu.
Beberapa hari kemudian, semuanya kejadian ini hanya melahirkan misteri.
Remon tak kunjung pulang dan tak terdeteksi keberadaannya.
Selepas beberapa hari berikutnya, masih tak terdengar kabar dari remon, sedangkan sang ibu telah di berangkatkan jasatnya, ke kampung halaman untuk di kebumikan, bersama sang suami tercinta.
Sampai pada minggu pertama, kehadiran sosok remon tercium juga.
Ia di temukan mengapung di sebuah kali, tak bernyawa lagi.
Setelah pencarian beberapa keluarga.
Sedangkan rian, keadaanya tak kalah memprihatinkan.
Ia sering di temukan di pinggiran jalan, dengan dandanan tak lazim, dan sering memanggil nama ibu dan kakaknya tanpa sebab.
Terkadang sepulang kulih aku sering membeli beberapa roti dan minuman untuk tinggal ku berikan pada rian.
Dan tentu saja itu membuat banyak orang bertanya, “Siapakah gerangan orang gila yang kau beri makan itu?”
Dan aku hanya bisa menjawab “Ia Adalah Sahabat ku”
Tips dari admin: Ceritanya sudah cukup baik, namun masih banyak kesalahan kata dalam pengetikan, untuk cerpen kedepan coba di perbaiki lagi ya! tetap semangat! ^_^
Cerpen Karangan: Daniel Satria Sutrisno
Facebook: Daniel Satria Sutrisno
Nama : Daniel S Sutrisno
Lahir di : Manado
Hobby : Menggambar, mengarang



















Contoh Cerpen Pengalaman Pribadi

HADIAH YANG HILANG
“Hore,” semua murid bersorak setelah mendengar bunyi bel dari pengeras suara di depan kelasku, kelas VII D di SMP Negeri 1 Ajibarang.
Seketika semua murid berhamburan ke luar kelas untuk kembali ke rumah masing-masing bak burung-burung yang terbang bebas ke langit biru.
Seperti biasanya, aku pulang dengan teman sekelasku yaitu Annisa Mutiara Rachmanadika atau biasa disapa Dika. Kami pulang bersama dengan jalan kaki karena rumah kami tidah terlalu jauh dengan sekolah yaitu kira-kira sekitar 100.000 cm
***
Tibalah aku di rumah, kemudian aku menyapa Ibuku yang sedang menjemur pakaian di pelataran rumah.
“Assalamu’alaikum,” salamku kepada Ibu dengan mencium tangan kanannya.
“Wa’alaikumsalam. Sudah pulang Nak, bagaimana di sekolah?” tanya Ibuku dengan suara lembutnya.
“Baik-baik saja Bu. Ibu hari ini masak apa untukku?” tanyaku.
“Ibu masak sup ayam kesukaanmu, sana lekas makan!” perintah Ibu padaku sembari meremas pakaian yang akan dijemur.
“Aku tidak sabar mencobanya,” ucapku dengan nada penasaran sehingga aku langsung masuk ke dalam rumah.
Sebelum makan, aku masuk ke kamar untuk berganti pakaian dan melaksanakan rukun islam yang ke-2 yaitu salat.
Selesai salat aku merapikan meja belajarku karena sangat berantakan oleh buku, kemudian aku melihat sebuah kotak kardus kecil tanpa pembungkus di atas meja belajarku. Aku pun langsung mengambil kotak kardus itu dan langsung membuangnya ke tempat sampah di depan rumah.
 Aku langsung masuk ke dapur dan menghampiri meja makan yang ternyata berisi banyak makanan seperti sup ayam, tempe goreng, sambal serta kerupuk udang khas Cirebon. Segeralah aku makan dengan lahap lauk pauk dengan semangkuk nasi putih hangat.

Tiba-tiba Ayah datang menghampiriku.
“Bagaimana makanannya enak tidak?” tanya Ayah yang mengagetkanku.
“Ya ampun Ayah mengagetkanku, untung saja aku tidak tersedak. Iya Ayah makanannya semua enak,” candaku kepada Ayah.
“Memang makanan yang Ibu masak selalu enak,” balas Ayah padaku.
“Iya,” jawabku sambil memasukan satu suapan nasi ke dalam mulut.
“Nak, apa kamu sudah menerima hadiah ulang tahunmu ke-13 dari Ayah di atas meja belajarmu? ” tanya Ayah padaku.
“Hadiah yang seperti apa?” tanyaku dengan singkat.
“Sebuah kardus kecil,” jawab Ayah.
“Jadi di dalam kardus itu ada hadiah ulang tahunku?” ucapku dengan ekspresi wajah tertegun.
“Iya,” jawab Ayah.
Langsung aku beranjak dari tempat makan dan segera menuju ke depan rumah untuk melihat tempat sampah yang berisi kotak kardus hadiah ulang tahunku. Ternyata isi tempat sampah kosong, aku pun bagaikan tersambar petir yang amat panas pada siang hari yang cerah.
***
Aku mencari-cari kotak kardus di sekitar rumahku selama 1.800 detik tetapi hasilnya nihil, aku tidak menemukannya. Aku pun sangat sedih karena telah membuang hadiah ulang tahunku sendiri.
Tiba-tiba Ibuku datang dan terkejut melihat mataku berkaca-kaca.
“Kamu kenapa menangis?” tanya Ibu dengan nada kekhawatiran.
“Aku tidak sengaja membuang hadiah ulang tahunku ke tempat sampah, tetapi sekarang isi tempat sampah sudah kosong,” jawabku sambil menagis tersedu-sedu.
“Tadi ada tukang sampah keliling yang membawanya dengan motor. Coba kamu cari mungkin belum jauh dari sini,” saran Ibu padaku.
Mendengar saran Ibu aku kemudian mencari tukang sampah keliling di sekitar perumahan. Setelah melangkah sejauh sekitar 25 meter aku melihat Ibu Asih, seorang wanita berumur setengah abad yang sedang menyapu halaman rumah. Aku pun  menghampiri dan bertanya kepada Ibu Asih.
“Maaf, apakah Ibu melihat tukang sampah keliling hari ini?” tanyaku kepada Ibu Asih yang telah 20 tahun menetap di perumahan ini bersama kedua anak laki-lakinya.
“Iya, tadi saya melihat tukang sampah sedang beristirahat di ujung sungai itu,” jawab Bu Asih sembari menunjuk ke arah sungai.
“Terima kasih informasinya Bu,” ucapku dengan memberi senyuman kecil.
Aku langsung bergegas menuju sungai. Sebelum aku tiba di sungai aku melihat tukang sampah akan melanjutkan perjalanannya dengan motor khusus yang dilengkapi tempat  sampah di bagian belakangnya. Karena takut kehilangan jejak tukang sampah aku berlari memangil tukang sampah agar berhenti.
“Tukang sampah tolong berhenti,” ucapku berulang-ulang sambil melambaikan tangan kanan ke atas.
Akhirnya tukang sampah menghentikan motornya setelah mendengar teriakkanku dan menoleh ke arah belakang.
***
“Pak, saya mau mengambil kotak kardus yang tak sengaja terbuang,” ucapku dengan nada kelelahan.
“Silakan Neng,” jawab tukang sampah dengan logat Sunda sambil turun dari motor.

Aku pun mengorek-ngorek keranjang sampah yang berisi tumpukan sampah rumah tangga dengan kedua tanganku, walaupun bau tapi aku harus menemukan hadiah pemberian Ayahku.
“Harus ketemu, harus ketemu, harus ketemu,” gumamku berulang-ulang sambil mengusap keringat yang bercucuran membasahi pelipisku.
“Ketemu, akhirnya hadiahku ketemu juga. Terima kasih Pak saya mau pulang dulu,” ucapku sambil melompat kegirangan.
“Iya, sama-sama Neng,” jawab tukang sampah.
Aku pulang menuju ke rumah dengan senang karena aku dapat menemukan hadiah ulang tahunku yang hilang. Karena penasaran aku membuka kotak kardus dan terkejut melihat isinya, yaitu sebuah buku yang aku idam-idamkan sejak satu tahun lalu berjudul “Chicken Soup for Unsinkable Soul” yang berisi tentang kisah-kisah inspiratif tentang mengatasi tantangan hidup.
***
Sampailah aku di rumah, kemudian aku berterima kasih kepada Ayahku karena telah memberikanku hadiah ulang tahun yang istimewa. Selain berterima kasih aku juga meminta maaf kepada Ayah karena telah sembarangan membuang barang.
“Ayah, terima kasih telah memberikanku hadiah yang begitu istimewa. Tetapi aku juga ingin meminta maaf karena telah sembarangan membuang hadiahnya tanpa sengaja,” ucapku.
“Iya sama-sama. Ayah akan memaafkanmu jika kamu berjanji akan berhati-hati membuang barang yang bukan milikmu,” ucapnya.
“Iya aku berjanji tidak akan mengulangi kejadian ini lagi,” janjiku pada Ayah.
Kami pun saling tertawa ditemani teh hangat sembari menatap ke arah luar jendela yaitu langit senja yang terguyur oleh derasnya rintik hujan.
***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar